Senin, 20 Juni 2011

Bijak itu Cinta Damai

Posted on muhammad syafi'i

Aih, sore ini saya kembali tersentil ketika mendengarkan bacaan I di misa harian.
Siapakah di antara kamu yang bijak dan berbudi? Baiklah ia dengan cara hidup yang baik menyatakan perbuatannya oleh hikmat yang lahir dari kelemahlembutan.
Jika kamu menaruh perasaan iri hati dan kamu mementingkan diri sendiri, janganlah kamu memegahkan diri dan janganlah berdusta melawan kebenaran!
Itu bukanlah hikmat yang datang dari atas, tetapi dari dunia, dari nafsu manusia, dari setan-setan.
Sebab di mana ada iri hati dan mementingkan diri sendiri di situ ada kekacauan dan segala macam perbuatan jahat.
Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.
Dan buah yang terdiri dari kebenaran ditaburkan dalam damai untuk mereka yang mengadakan damai. Yakobus 3:13-18
Saya ternyata masih sangat jauh dari bijak. Saya teringat pengalaman dua tahun yang lalu di bulan Maret. Waktu itu saya menjadi ketua pelaksana suatu acara studi tour di kampus. Semuanya berjalan lancar dan menyenangkan sampai terjadi suatu insiden yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

Pagi itu, saya terlalu sibuk dengan urusan koordinasi sehingga tidak sempat makan, dan ketika saatnya saya ingin makan.. eh, ternyata ada teman saya yang mengambil jatah makanan dobel sehingga beberapa panitia termasuk saya terpaksa tidak makan. Begitu jengkelnya saya sehingga saya menyimpan kemarahan dan kelaparan di dalam hati.
Dalam suatu kesempatan seorang panitia kurang dapat menempatkan dirinya. Saya pun menegurnya dengan cara saya. Rupanya tindakan yang saya lakukan dengan tanpa kata-kata itu, dipersepsikan sebagai sebuah penghinaan oleh seorang teman lain yang bukan panitia. Lalu dia memprovokasi teman yang saya tegur tersebut, dan akhirnya terjadilah insiden kecil yang hampir merusak keseluruhan acara.
Dalam keadaan lapar, memang sulit bagi saya untuk mengatur emosi dan bertindak bijak. Mungkin itulah kegunaan berpuasa dalam hidup religius, yaitu untuk melatih pengendalian diri. Meski tanpa kata yang terucap, saya telah mementingkan diri saya sendiri. Saya belum dapat menahan diri untuk mengendalikan rasa lapar dan kemarahan yang menyertainya. Insiden itu benar-benar membuat hubungan saya dengan beberapa teman agak renggang sampai sekarang.
Setiap bulan ini akan datang, saya akan mengingatnya sebagai salah satu kebodohan saya. Seandainya saya tetap tenang, dan keluar dari rasa lapar dan marah saya. Tentunya saya akan mendapatkah hikmat untuk menegurnya dengan cara yang lebih ramah, lebih membawa kedamaian dan tentunya akan berakhir dengan dalam suasana yang damai.
Setiap kali bulan Maret akan datang, saya menertawakan ingatan ini karena sampai sekarang tidak seorangpun yang tahu kalau insiden itu bermula dari sekotak nasi ayam yang hilang.. oalaah ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar