Kamis, 09 Juni 2011

MENGHARGAI KEMENANGAN

Menghargai Kemenangan Cetak E-mail
Ditulis oleh Muhammad syafi'i   
Sesuatu yang diperoleh dengan susah payah akan lebih berharga bagi pemiliknya daripada yang didapat dengan mudah atau bahkan cuma-cuma. Sebuah kata bijak tentang nilai sebuah perjuangan. Suatu kearifan yang patut direnungkan ketika kita melepas kepergian bulan Ramadhan.

Sesuatu yang diperoleh dengan susah payah akan lebih berharga bagi pemiliknya daripada yang didapat dengan mudah atau bahkan cuma-cuma. Sebuah kata bijak tentang nilai sebuah perjuangan. Suatu kearifan yang patut direnungkan ketika kita melepas kepergian bulan Ramadhan.

Ketika kemenangan telah digenggam, pastilah ia dihargai dengan tinggi karena perjuangan yang dilalui untuk mendapatkannya tidaklah mudah. Perjuangan untuk meningkatkan kualitas pribadi sebagai seorang mukmin agar keimanan dan keislaman dalam diri tidak hanya tinggal menjadi barang warisan yang tidak terurus dan terbengkalai. Betapa banyak dari saudara kita yang harus berhadapan dengan berbagai kesulitan dan bahkan ancaman maut demi untuk menggenggam erat hidayah. Merekalah yang benar-benar merasakan betapa berharganya sebuah kehidupan dalam damai keimanan setelah melalui pahit getir dan cabikan pengorbanan. Karenanya mereka tidak akan mudah menjualnya dengan apapun, bahkan akan memberikan segalanya demi tidak hilangnya apa yang telah ada dalam genggaman.

Lantas bagaimana dengan kita yang telah menggenggam mutiara itu sejak awal? Tidak akankah kita merasakan iman semanis yang dirasakan keluarga Yazid RA? Tidak akankah kita menjadi segagah dan setegar Umar bin Khattab RA dalam medan dan situasi apapun untuk mempertahankan yang haq? Mereka adalah cermin. Dan bagi kita yang telah Allah SWT takdirkan untuk tidak melalui fase berat seperti mereka disamping harus banyak bersyukur seharusnya juga berusaha untuk meneladani perjuangan mereka dengan cara yang sesuai dengan kondisi. Sudahkah ditengok apa yang telah ada dalam genggaman, masihkah ia berkilau ataukah jangan-jangan sudah karatan?

Menjaga kualitas dan keadaan iman dalam diri juga merupakan suatu perjuangan. Kekuatan dan kesabaran amat dibutuhkan untuk selalu melindunginya dari serangan kuman yang dapat membuatnya lapuk dan keropos. Itulah salah satu bentuk kesyukuran seorang hamba atas nikmat iman yang telah dikaruniakan-Nya. Merenungkan kembali apa yang telah kita lakukan sepanjang Ramadhan lalu, memikirkan seberapa jauh kesadaran diri untuk meningkatkan kualitas pribadi yang beriman agar ia tidak menjadi hanya sekedarnya. Juga, sejauh mana perubahan yang dirasakan sebagai hasil. Tentunya perenungan-perenungan tersebut membutuhkan kejujuran hati karena dengannya akan tercapai tujuan utama dari introspeksi, yaitu mengetahui kadar nilai jiwa dan amal yang kemudian diharapkan akan menghasilkan usaha peningkatan iman yang kontinyu. Hasil yang sebenarnya tentunya tidak akan dapat diketahui karena hal tersebut merupakan masalah gaib yang hanya menjadi urusan-Nya. Tetapi kiranya perubahan-perubahan dhahir dalam beramal dapat cukup dirasakan.

Adakah disadari, sangat mungkin sekali sebenarnya untuk mengakhatamkan Al-Qur`an paling tidak sebulan sekali ketika waktu benar-benar diatur dengan baik apalagi jika tidak disia-siakan untuk hal-hal yang tidak berguna, sebagaimana halnya sangatlah mungkin sebenarnya untuk menjauhi kemungkaran dan perkataan-perkataan fasik ketika keimanan membuat kita takut kehilangan pahala amalan yang dilakukan dengan susah payah. Mengapa kita tidak takut kehilangan cinta dan ridha Sang Kekasih dengan perbuatan-perbuatan yang mengkhianati-Nya pada setiap desah nafas? Telahkah disadari dan direnungkan bahwasannya saat-saat paling indah adalah ketika kita telah berhasil menginjak dan mengalahkan nafsu?

Tidak ada yang lebih membahagiakan dari saat ketika disadari bahwa diri telah selamat dari kesesatan setelah berada di tepi mulut jurangnya. Kesadaran-kesadaran semacam ini layaknya dapat dinilai sebagai sebuah kemenangan yang harus dihargai dengan mempertahankan dan meningkatkannya dalam setiap jengkal langkah kehidupan. Setelah keluar dari bulan suci, masihkah akan terasa berat untuk menarik nafas sejenak, menjernihkan otak dan menahan lidah untuk tidak membicarakan aib orang, atau membuat orang lain senang walau hanya dengan sekedar mengulurkan lembaran uang yang bagus dalam transaksi? Sangat sepele memang, tetapi sesuatu yang sepele ketika menjadi tabiat buruk akan menjadi amat buruk. Tidak sepatutnya untuk menjadi kikir juga dalam hal yang sebenarnya kita sama sekali tidak rugi dengannya. Begitu juga tidak seharusnya untuk pelit dan ragu mendoakan kebaikan untuk orang lain dunia dan akhirat karena rahmat Allah SWT tidak akan habis untuk kita hanya karena sebagian telah diberikan kepada orang lain, seperti juga surga-Nya yang tidak akan pernah padat penghuni. Seharusnya tidaklah perlu untuk takut tidak kebagian tempat hanya karena orang lain berada didalamya.

Banyak pelajaran berharga yang dapat direnungi setelah bulan Ramadhan dilalui seorang mukmin sebagai madrasah ihsan untuk mendeteksi bentang kebodohan dalam diri, pelajaran yang diperoleh melalui sebuah perjuangan untuk bersabar dan juga bertafakkur. Dan ketika perjuangan ini menghasilkan sebuah kemenangan dalam kadar yang bermacam, maka sangat layaklah ia untuk dihargai agar lentera iman senantiasa semakin benderang dalam hati.

Minal `aidin wal faizin, kullu `aam wa antum bi khair

Tidak ada komentar:

Posting Komentar